Tuesday, February 10, 2009

KELEBIHAN NUTRISI DAN PENGARUHNYA

KELEBIHAN NUTRISI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESEHATAN MASYARAKAT
1. Pendahuluan
OBESITAS dan KELEBIHAN NUTRISI

Pengertian
Obesitas merupakan penyakit yang sejak lama sudah dikenal masyarakat dan sampai sekarang merupakan persoalan yang banyak dibicarakan karena sulitnya pengobatan yang berhasil dilakukan. Banyak pengertian mengenai obesitas salah satunya yang diungkapkan sebagai berikut. “ Obesitas adalah kondisi berlebihnya jaringan lemak akibat tidak seimbangnya masukan energi dengan pemakaian”,(Kusumawardhani:2006). Jadi obesitas dapat diartikan secara tepat dengan istilah kegemukan atau banyaknya penimbunan lemak dalam tubuh.
Seiring dengan meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat, jumlah penderita kegemukan (overweight) dan obesitas cenderung meningkat. Di Indonesia, masalah kesehatan yang diakibatkan oleh gizi lebih ini mulai muncul pada awal tahun 1990-an. Peningkatan pendapatan masyarakat pada kelompok sosial ekonomi tertentu, terutama di perkotaan, menyebabkan adanya perubahan pola makan dan pola aktifitas yang mendukung terjadinya peningkatan jumlah penderita kegemukan dan obesitas (Sunita Almatsier, 2004)

Apakah kegemukan dan obesitas itu?

Kegemukan dan obesitas merupakan dua hal yang berbeda.
Namun, keduanya sama-sama menunjukkan adanya penumpukan lemak yang berlebihan di dalam tubuh, yang ditandai dengan peningkatan nilai indeks massa tubuh diatas normal.
Penderita obesitas mengalami penumpukan lemak yang lebih banyak dibandingkan dengan penderita kegemukan untuk jangka waktu yang lama, dan berisiko lebih tinggi untuk terkena beberapa penyakit degeneratif seperti penyakit payah jantung kongestif, hipertensi, diabetes melitus tipe 2 dan sebagainya.

Bagaimana cara menentukan kriteria kegemukan dan obesitas?

Sebagaimana telah disebutkan diatas, kriteria kegemukan dan obesitas ditentukan berdasarkan
perhitungan indeks massa tubuh (IMT). Cara menghitung IMT ditentukan berdasarkah rumus berikut:

IMT= Berat badan (kg)/ kuadrat tinggi badan (meter)

Kriteria kegemukan adalah orang yang memiliki nilai IMT antara 25,1 sampai 30, sedangkan nilai IMT untuk obesitas adalah diatas 30.

Bagaimana proses terjadinya kegemukan dan obesitas?

Kegemukan dan obesitas terjadi apabila total asupan kalori yang terkandung dalam makanan melebihi jumlah total kalori yang dibakar dalam proses metabolisme.
Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa penyebab kegemukan dan obesitas bersifat multi-faktor, antara lain adanya keterlibatan faktor genetik, ras, perubahan pola makan dan pola aktifitas serta emosi.
Keterlibatan faktor genetik relatif sulit dibuktikan. Diduga, ada kelompok masyarakat tertentu yang proses metabolisme tubuhnya relatif lebih lambat dibandingkan yang lainnya. Kondisi ini menyebabkan seseorang memiliki peluang lebih besar untuk menderita kegemukan dan obesitas.
Sebuah penelitian di Amerika serikat menunjukkan bahwa kegemukan dan obesitas lebih banyak terdapat pada ras Afro-amerika dan Mexico-amerika dibandingkan ras lainnya.
Pola makanan masyarakat di lingkungan perkotaan yang tinggi kalori dan lemak serta rendah serat, telah
memicu peningkatan jumlah penderita kegemukan dan obesitas. Masyarakat di perkotaan yang cenderung sibuk, biasanya lebih menyukai mengkonsumsi makanan cepat saji, dengan alasan lebih praktis. Meskipun mereka mengetahui bahwa nilai kalori yang terkadung dalam makanan cepat saji sangat tinggi, dan di dalam tubuh kelebihan kalori ini akan dirubah dan disimpan menjadi lemak tubuh.
Sesungguhnya, menu makanan tradisional masyarakat Indonesia yang terdiri dari kandungan energi berasal sekitar 9,6% berasal dari protein, 20,6% dari lemak dan selebihnya 68,6% berasal dari karbohidrat (Data Biro Pusat Statistik tahun 1990), telah sesuai dengan anjuran pola makan sehat menurut badan kesehatan se-dunia, WHO.
Selain itu, kian berkurangnya aktifitas fisik juga berkontribusi terhadap peningkatan jumlah penderita kegemukan dan obesitas. Dalam kehidupan masyarakat modern -dengan dukungan teknologi dan sarana yang mutakhir, menyebabkan menurunnya aktifitas fisik.
Penggunan elevator telah menggantikan fungsi tangga di berbagai instansi, perkantoran dan beberapa sarana umum. Adanya remote kontrol juga menyebabkan banyak orang tidak perlu beranjak dari tempatnya menonton televisi, jika ingin mengganti saluran. Penggunaan alat transportasi bermotor juga telah menggeser peran sepeda. Akibatnya, sedikit sekali kalori yang dibakar akibat aktifitas fisik yang minim ini. Faktor emosi juga turut berkontribusi menyebabkan kegemukan dan obesitas pada diri seseorang. Saat seseorang merasa cemas, sedih, kecewa atau tertekan, biasanya akan cenderug mengkonsumsi makanan lebih banyak untuk mengatasi perasaan-perasaan yang tidak
menyenangkan tadi.

Etiologi
Penyebab obesitas sangat kompleks dalam arti banyak sekali faktor yang menyebabkan obesitas terjadi. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya obesitas seperti faktor lingkungan, genetik, psikis, kesehatan, obat-obatan, perkembangan dan aktivitas fisik, yang akan dijelaskan sebagai berikut
Faktor lingkungan seseorang memegang peranan yang cukup berarti, lingkungan ini termasuk pengaruh gaya hidup dan bagaimana pola makan seseorang. Kusumawardhani(2006:206-207) mengungkapkan bahwa pola makanan seseorang ada yang disebut food addiction dan food abuser. Food addiction adalah pola makan yang berlebihan. Food abuser tidak sama dengan food addiction. Food abuser adalah pola makan yang berlebih dalam periode tertentu karena mereka menyukai makanan tersebut, kecintaan makanan ini dapat berlanjut menjadi obesitas. Pada food abuser ini akan menjadi ketagihan secara emasional apabila digunakan dalam mengendalikan stress, mood dan rasa kehilangan.
Pada faktor genetik, kegemukan dapat diturunkan dari generasi ke generasi didalam sebuah keluarga. Orang tua yang gemuk cenderung memiliki anak-anak yang gemuk pula. Dalam hal ini, sepertinya faktor genetik telah ikut campur dalam menentukan jumlah unsur sel lemak dalam lemak yang berjumlah besar dan melebihi ukuran normal, secara otomatis akan diturunkan kepada sang bayi selama dalam kandungan. Maka tidak heran bila bayi yang lahirpun memiliki unsur lemak yang relatif sama besar (Zainun:2002)
Faktor kesehatan juga dapat menyebabkan terjadinya obesitas maksudnya adalah ada beberapa penyakit yang dapat menimbulkan obesitas seperti penderita Hipotiroidisme, Sindroma Cushing, Sindroma Prader-Willi dan beberapa kelainan saraf yang bisa menyebabkan seseorang banyak makan. Obesitas juga dapat disebabkan memakai obat-obatan tertentu seperti steroid dan beberapa anti depresi (Susan Yanovski and Jack Yanovski, 2002)
Menurut Zainun(2002) faktor psikis adalah apa yang ada didalam pikiran seseorang dapat mempengaruhi kebiasaan seseorang dalam mengatur pola makanannya. Penambahan ukuran atau jumlah sel lemak menyebabkan bertambahnya jumlah sel didalam jaringan tubuh pada penderita obesitas terutama kegemukan pada anak-anak memiliki sel-sel lemak 5 kali lebih banyak dibandingkan orang normal. Aktivitas fisik yang kurang mungkin adalah penyebab utama meningkatnya obesitas di tengah masyrakat. Orang-orang yang mengkonsumsi makanan kaya akan lemak dan kurang melakukan aktivitas fisik atau jarang berolahraga akan cenderung mengalami obesitas karena tidak adanya keseimbangan antara asupan yang masuk dan energi yang keluar.
Genetik

Kegemukan dapat diturunkan dari generasi sebelumnya pada generasi berikutnya di dalam sebuah keluarga. Itulah sebabnya kita seringkali menjumpai orangtua yang gemuk cenderung memiliki anak-anak yang gemuk pula. Dalam hal ini nampaknya faktor genetik telah ikut campur dalam menentukan jumlah unsur sel lemak dalam tubuh. Hal ini dimungkinkan karena pada saat ibu yang obesitas sedang hamil maka unsur sel lemak yang berjumlah besar dan melebihi ukuran normal, secara otomatis akan diturunkan kepada sang bayi selama dalam kandungan. Maka tidak heranlah bila bayi yang lahirpun memiliki unsur lemak tubuh yang relatif sama besar.

Kerusakan Pada Salah satu Bagian Otak

Sistem pengontrol yang mengatur perilaku makan terletak pada suatu bagian otak yang disebut hipotalamus –sebuah kumpulan inti sel dalam otak yang langsung berhubungan dengan bagian-bagian lain dari otak dan kelenjar dibawah otak. Hipotalamus mengandung lebih banyak pembuluh darah dari daerah lain pada otak, sehingga lebih mudah dipengaruhi oleh unsur kimiawi dari darah.

Dua bagian hipotalamus yang mempengaruhi penyerapan makan yaitu hipotalamus lateral (HL) yang menggerakan nafsu makan (awal atau pusat makan); hipotalamus ventromedial (HVM) yang bertugas merintangi nafsu makan (pemberhentian atau pusat kenyang). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa bila HL rusak/hancur maka individu menolak untuk makan atau minum, dan akan mati kecuali bila dipaksa diberi makan dan minum (diberi infus). Sedangkan bila kerusakan terjadi pada bagian HVM maka seseorang akan menjadi rakus dan kegemukan.

Pola Makan Berlebihan

Orang yang kegemukan lebih responsif dibanding dengan orang berberat badan normal terhadap isyarat lapar eksternal, seperti rasa dan bau makanan, atau saatnya waktu makan. Orang yang gemuk cenderung makan bila ia merasa ingin makan, bukan makan pada saat ia lapar. Pola makan berlebih inilah yang menyebabkan mereka sulit untuk keluar dari kegemukan jika sang individu tidak memiliki kontrol diri dan motivasi yang kuat untuk mengurangi berat badan.

Kurang Gerak/Olahraga

Tingkat pengeluaran energi tubuh sangat peka terhadap pengendalian berat tubuh. Pengeluaran energi tergantung dari dua faktor :
1) tingkat aktivitas dan olah raga secara umum;
2) angka metabolisme basal atau tingkat energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi minimal tubuh.
Dari kedua faktor tersebut metabolisme basal memiliki tanggung jawab dua pertiga dari pengeluaran energi orang normal.

Meski aktivitas fisik hanya mempengaruhi satu pertiga pengeluaran energi seseorang dengan berat normal, tapi bagi orang yang memiliki kelebihan berat badan aktivitas fisik memiliki peran yang sangat penting. Pada saat berolahraga kalori terbakar, makin banyak berolahraga maka semakin banyak kalori yang hilang. Kalori secara tidak langsung mempengaruhi sistem metabolisme basal. Orang yang duduk bekerja seharian akan mengalami penurun metabolisme basal tubuhnya. Kekurangan aktifitas gerak akan menyebabkan suatu siklus yang hebat, obesitas membuat kegiatan olah raga menjadi sangat sulit dan kurang dapat dinikmati dan kurangnya olah raga secara tidak langsung akan mempengaruhi turunnya metabolisme basal tubuh orang tersebut. Jadi olah raga sangat penting dalam penurunan berat badan tidak saja karena dapat membakar kalori, melainkan juga karena dapat membantu mengatur berfungsinya metabolis normal.

Pengaruh Emosional

Sebuah pandangan populer adalah bahwa obesitas bermula dari masalah emosional yang tidak teratasi. Orang-orang gemuk haus akan cinta kasih, seperti anak-anak makanan dianggap sebagai simbol kasih sayang ibu, atau kelebihan makan adalah sebagai subtitusi untuk pengganti kepuasan lain yang tidak tercapai dalam kehidupannya. Walaupun penjelasan demikian cocok pada beberapa kasus, namun sebagian orang yang kelebihan berat badan tidaklah lebih terganggu secara psikologis dibandingkan dengan orang yang memiliki berat badan normal. Meski banyak pendapat yang mengatakan bahwa 0rang gemuk biasanya tidak bahagia, namun sebenarnya ketidakbahagiaan /tekanan batinnya lebih diakibatkan sebagai hasil dari kegemukannya. Hal tersebut karena dalam suatu masyarakat seringkali tubuh kurus disamakan dengan kecantikan, sehingga orang gemuk cenderung malu dengan penampilannya dan kesulitannya mengendalikan diri terutama dalam hal yang berhubungan dengan perilaku makan.

Orang gemuk seringkali mengatakan bahwa mereka cenderung makan lebih banyak apa bila mereka tegang atau cemas, dan eksperimen membuktikan kebenarannya. Orang gemuk makan lebih banyak dalam suatu situasi yang sangat mencekam; orang dengan berat badan yang normal makan dalam situasi yang kurang mencekam (McKenna,1999). Dalam suatu studi yang dilakukan White (1977) pada kelompok orang dengan berat badan berlebih dan kelompok orang dengan berat badan yang kurang, dengan menyajikan kripik (makanan ringan) setelah mereka menyaksikan empat jenis film yang mengundang emosi yang berbeda, yaitu film yang tegang, ceria, merangsang gairah seksual dan sebuah ceramah yang membosankan. Pada orang gemuk didapatkan bahwa mereka lebih banyak menghabiskan kripik setelah menyaksikan film yang tegang dibanding setelah menonton film yang membosannkan. Sedangkan pada orang dengan berat badan kurang selera makan kripik tetap sama setelah menonton film yang tegang maupun film yang membosankan.

Lingkungan

Faktor lingkungan ternyata juga mempengaruhi seseorang untuk menjadi gemuk. Jika seseroang dibesarkan dalam lingkungan yang menganggap gemuk adalah simbol kemakmuran dan keindahan maka orang tersebut akan cenderung untuk menjadi gemuk. Selama pandangan tersebut tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal maka orang yang obesitas tidak akan mengalami masalah-masalah psikologis sehubungan dengan kegemukan.



Patogenesis
Kusumawardhani(2006:206) mengungkapkan bahwa patogenesis dari obesitas diketahui multifaktorial, meliputi faktor genetik dan faktor lingkungan yang berpengaruh dalam hal regulasi berat badan, metabolisme dan prilaku makan. .
Salihin(2002) mengungkapkan bahwa menurut patogenesisnya maka obesitas dapat dibagi dalam dua macam:
a).regulatory obesity dan
b).metabolic obesity
Pada regulatory obesity gangguan primernya terletak pada pusat yang mengatur masukan makanan (central mechanism regulating food intake). Pada metabolic obesity terdapat kelainan pada metabolisme lemak dan karbohidrat.
Jadi pada dasarnya patogenesis obesitas adalah gangguan pada pengaturan asupan makanan dan kelainan pada metabolisme tubuh khusunya lemak dan karbohidrat.

Patofisiologi
Pada penderita obesitas makanan masuk kedalam tubuh dengan jumlah makanan yang lebih besar daripada yang dipakai oleh tubuh untuk energi. Makanan berlebihan baik lemak, karbohidrat atau protein, kemudian disimpan sebagai lemak dalam jaringan adipose yang kemudian akan dipakai sebagai energi. Jumlah energi (dalam bentuk makanan) yang memasuki tubuh lebih besar daripada jumlah energi yang keluar, maka berat badan akan meningkat.(Anwar:2005)
Apa bahaya yang timbul akibat kegemukan dan obesitas ini?
Kegemukan dan obesitas diyakini berkaitan dengan berbagai penyakit degeneratif seperti penyakit payah jantung kongestif (Congestif heart failure), hipertensi, kencing manis (Diabetes melitus) tipe 2
dan penyakit radang persendian (Osteoartritis).
Beberapa pasien anak-anak yang menderita kegemukan dan obesitas juga dilaporkan mengalami periode tidak-bernafas waktu tidur (Sleep apnea) yang dapat menurunkan mempengaruhi daya fikirnya di kemudian hari.


Gejala dan Tanda-tanda
Sarwono(2003) mengungkapkan bahwa salah satu tanda-tanda dari obesitas adalah penimbunan lemak yang berlebihan dibawah diafragma dan didalam dinding dada bisa menekan paru-paru, sehingga timbul gangguan pernafasaan dan sesak nafas, meskipun penderita hanya melakukan aktivitas yang ringan. Biasanya gangguan pernapasan itu terjadi pada saat tidur dan menyebabkan terhentinya pernapasan untuk sementara (tidur apneu), sehingga pada siang hari penderita sering merasa ngantuk. Obesitas juga sering ditemukan pada berbagai masalah ortopedik, termasuk nyeri punggung bawah dan masalah osteoritis. Sering juga ditemukan kelainan tubuh pada penderita obesitas, seseorang yang obesitas memiliki permukaan tubuh yang relatif lebih sempit dibandingkan dengan berat badannya, sehingga panas tubuh tidak dapat dibuang secara efesien dan mengeluarkan keringat yang banyak. Gejala obesitas dapat ditemukan pada penderita edema(pembengkaan akibat penimbunan jumlah cairan) didaerah tungkai dan pergelangan tangan.

Terapi (pengobatan)
Pembatasan asupan kalori dan peningkatan aktifitas fisik merupakan komponen yang paling penting dalam pengaturan berat badan. Kedua komponen ini juga penting dalam mempertahankan berat badan setelah terjadi penurunan berat badan. Harus dilakukan perubahan dalam pola aktivitas fisik dan mulailah dengan pola makan yang sehat.
Langkah awal dalam mengobati obesitas adalah menaksir lemak tubuh penderita dan resiko kesehatan yang berhubungan dengan obesitas akan meningkat sejalan dengan meningkatnya angka BMI. Conie L Bish,et all(2007) mengungkapkan angka BMI adalah sebagai berikut:
a. Resiko rendah: BMI< 27
b. Rsiko menengah: BMI 27-30
c. Resiko tinggi: BMI 30-35
d. Resiko sangat tinggi: BMI 35-40
e. Resiko paling tinggi: BMI 40 atau lebih
Jenis dan beratnya latihan, serta jumlah pembatasan kalori pada setiap penderita berbeda-beda dan obat yang diberikan disesuaikan dengan keadaan penderita, dibawah ini menggambarkan bagaimana cara memberikan pengobatan pada penderita obesitas.
a. Penderita dengan resiko kesehatan rendah, menjalani diet rendah kalori (800-1200 kalori/hari untuk wanita, 1400-2000 kalori/hari untuk pria) disertai olah raga.
b. Penderita dengan resiko kesehatan menengah, menjalani diet rendah kalori (800-1200 kalori/hari untuk wanita, 1000-1400 kalori/hari untuk pria) disertai olah raga
c. Penderita dengan resiko kesehatan tinggi atau sangat tinggi, mendapat obat anti obesitas disertai diet rendah kalori dan olah raga.
Peluang penurunan berat badan jangka panjang yang berhasil akan semakin tinggi bila dokter bekerja dalam satu tim professional yang melibatkan ahli diet, psikologis dan ahli olah raga.
Dalam melakukan terapi atau pengobatan baik yang pharmacotherapy maupun non pharmacotherapy haruslah teliti sebab banyak pengobatan yang beresiko tinggi dan bahkan dapat menyebabkan penyakit lainya. Menurut Susan Yanovski dan Jack Yanovski(2002) pemberian terapi terhadap dietary supplement dan herbal preparation tidak aman dikonsumsi. Setelah dilakukan penelitian zat-zat yang terkandung didalam herbal preparation dan dietary supplement dapat menimbulkan efek yang membahayakan seperti dapat terkena hipertensi, stroke, serangan jantung dan lain sebagainya.

Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghambat terjadinya obesitas adalah gaya hidup. Gaya hidup ini termasuk pola makan dan aktivitas fisik. Dengan mengatur pola makan yang sehat dan aktivitas fisik yang baik seseorang dapat terhindar dari obesitas. Untuk lebih menyempurnakan pencegahannya dianjurkan untuk berkonsultasi kepada dokter untuk mengetahui apakah seseorang memiliki potensi untuk obesitas sehingga dapat dengan cepat dicegah. Pencegahan pada obesitas dapat juga dengan melakukan penyuluhan resiko dari obesitas yang dapat menimbulkan penyakit-penyakit lain dan bahkan kematian, sehingga dengan penyuluhan ini dapat memberi kesadaran untuk memulai hidup sehat.
WHO menyatakan bahwa kegemukan dan obesitas merupakan 1 dari 10 kelainan yang dapat dicegah yang berkaitan dengan berbagai macam penyakit atau kelainan degeneratif. Jadi sesungguhnya, kita dapat meminimalisasi efek negatif dari kelainan ini terhadap kesehatan, dengan memperbaiki pola makan dan meningkatkan aktifitas fisik.

Bagaimana cara mengobati kegemukan dan obesitas?
Prinsip terapi dari kegemukan dan obesitas adalah pengaturan pola makan (diet) yang sehat dan
meningkatkan aktifitas fisik. Untuk itu, sebaiknya bagi Anda yang mengalami masalah ini, segera
berkonsultasi kepada dokter, bahkan jika perlu seorang ahli gizi medik. Hal ini penting menentukan diet dan aktifitas fisik yang sesuai dan aman untuk Anda.
Hindarilah mencoba mengatur sendiri diet yang terlalu ketat, karena hal ini seringkali menyebabkan tubuh kekurangan nutrisi. Upaya untuk mengkonsumsi obat-obatan pelangsing tubuh yang dijual secara bebas tidaklah selalu aman.
Untuk mengurangi faktor risiko kesehatan yang disebabkan oleh kegemukan dan obesitas, beberapa
metode sederhana ini mungkin bisa Anda coba:
1. Cobalah menggunakan tangga untuk mencapai ketinggian 2 lantai, dibandingkan menggunakan
elevator, kegiatan ini akan membakar kelebihan kalori pada tubuh Anda.
2. Gunakanlah sepeda untuk mengunjungi rumah sahabat atau kerabat yang hanya berjarak beberapa blok dari rumah Anda, daripada menggunakan mobil.
3. Jika tetap harus menggunakan mobil, cobalah memarkirnya beberapa meter dari tempat tujuan, agar Anda bisa sedikit berjalan.
4. Biasakan untuk berolahraga ringan selama 30 menit per sesi, dengan frekuensi 3 kali seminggu.
5. Cegahlah penggunaan remote kontrol saat menikmati acara televisi atau hiburan musik dari soundsystem kesayangan Anda. Sedikit gerak saat mengganti saluran televis akan lebih menyehatkan tubuh Anda.
6. Makanlah saat mulai merasa lapar, dan berhentilah makan sebelum kekenyangan. Hindari sikap berlebihan dalam mengkonsumsi makanan. Ingatlah, setiap kelebihan kalori akan disimpan dalam bentuk lemak tubuh, dan berpotensi menjadi sumber penyakit.
7. Jika Anda menginginkan makanan ringan pada waktu senggang, pilihlah buah-buahan untuk menggantikan makanan ringan siap saji. Biasanya makanan ini mengandung kalori dan tambahan lemak yang tinggi.
8. Hentikan kebiasaan mengudap makanan ringan saat menonton tayangan televisi, sebab Anda akan kesulitan mengontrol jumlah kalori yang masuk melalui makanan tersebut.










Dampak kelebihan nutrisi terhadap kesehatan masyarakat
Gizi Lebih dan Obesitas Sebagai Sindroma Dunia Baru (‘New World Syndrome)
Jika gizi kurang banyak dihubungkan dengan penyakit-penyakit infeksi (meskipun tidak seluruhnya benar), maka gizi lebih dan obesitas dianggap sebagai sinyal pertama dari munculnya kelompok penyakit-penyakit non infeksi (Non Communicable Diseases) yang sekarang ini banyak terjadi di negara-negara maju maupun negara-negara sedang berkembang. Fenomena ini sering diberi nama “New World Syndrome” atau Sindroma Dunia Baru (Gracey, 1995) dan ini telah menimbulkan beban sosial-ekonomi serta kesehatan masyarakat yang sangat besar
di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Tingginya angka obesitas, diabetes (NIDDM), hipertensi, dyslipidemia, dan penyakit-penyakit kardiovakuler disertai dengan tingginya prevalensi merokok dan penyalahgunaan obat sangat erat hubungannya dengan proses modernisasi/akulturasi dan meningkatnya kemakmuran bagi sekelompok masyarakat. Adalah Sindroma Dunia Baru yang bertanggungjawab terhadap tingginya morbiditas dan mortalitas
yang tidak proporsional di negara-negara yang baru saja mencapai kategori negara maju termasuk negara-negara Eropa Timur dan diantara kelompok etnis minoritas dan kelompok yang kurang beruntung di negara-negara maju.
Modernisasi dan kecenderungan pasar global yang mulai dirasakan di sebagian besar negara-negara berkembang telah memberikan kepada masyarakat beberapa kemajuan dalam standar kehidupan dan pelayanan yang tersedia. Akan tetapi, modernisasi juga telah membawa beberapa konsekuensi negatif yang secara langsung dan tidak langsung telah mengarahkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan pola makan dan aktivitas fisik yang berperanan penting terhadap
munculnya obesitas.

Besarnya Masalah Gizi Lebih
Obesitas sering didefinisikan sebagai kondisi abnormal atau kelebihan lemak yang serius dalam jaringan adiposa sedemikian sehingga mengganggu kesehatan (Garrow, 1988).
Saat ini terdapat bukti bahwa prevalensi kelebihan berat badan (overweight) dan obesitas meningkat sangat tajam di seluruh dunia yang mencapai tingkatan yang membahayakan. Kejadian obesitas di negara-negara maju seperti di negara-negara Eropa, USA, dan Australia telah mencapai tingkatan epidemi. Akan tetapi hal ini tidak hanya terjadi di negara-negara maju, di beberapa negara berkembang obesitas justru telah menjadi masalah kesehatan yang lebih serius. Sebagai contoh, 70% dan penduduk dewasa Polynesia di Samoa masuk kategori obes
(WHO, 1998).
Prevalensi overweight dan obesitas meningkat sangat tajam di kawasan Asia- Pasifik. Sebagai contoh, 20,5% dari penduduk Korea Selatan tergolong overweight dan 1,5% tergolong obes. Di Thailand, 16% penduduknya mengalami overweight dan 4% mengalami obes. Di daerah perkotaan Cina, prevalensi overweight adalah 12,% pada laki-laki dan 14,4% pada perempuan, sedang di daerah pedesaan prevalensi overweight pada laki-laki dan perempuan masingmasing
adalah 5,3% dan 9,8% (Inoue, 2000).
Obesitas tidak hanya ditemukan pada penduduk dewasa tetapi juga pada anak-anak dan remaja. Penelitian yang dilakukan di Malaysia akhir-akhir ini menunjukkan bahwa prevalensi obesitas mencapai 6,6% untuk kelompok umur 7 tahun dan menjadi 13,8% pada kelompok umur 10 tahun (Ismail & Tan, 1998). Di Cina, kurang lebih 10% anak sekolah mengalami obes, sedangkan di Jepang prevalensi obesitas pada anak umur 6-14 tahun berkisar antara 5% s/d 11% (Ito &
Murata, 1999).
Bersamaan dengan meningkatnya obesitas, prevalensi diabetes tipe 2 juga meningkat sangat tajam dan peningkatan ini diperkirakan akan terus berlanjut. Saat ini jumlah penduduk di wilayah Asia-Pasifik yang menderita diabetes tipe 2 diperkirakan mencapai 30 juta orang dan diperkirakan 120 juta dan penduduk dunia saat ini mengalami diabetes tipe 2. Pada tahun 2010 diperkirakan 210 juta penduduk dunia mengalami diabetes tipe 2, 130 juta diantaranya di kawasan Asia Pasifik (Amos et al., 1997).

Data tentang obesitas di Indonesia belum bisa menggambarkan prevalensi obesitas seluruh penduduk, akan tetapi data obesitas pada orang dewasa yang tinggal di ibukota propinsi seluruh Indonesia cukup untuk menjadi perhatian kita. Survei nasional yang dilakukan pada tahun 1996/1997 di ibukota seluruh propinsi Indonesia menunjukkan bahwa 8,1% penduduk laki-laki dewasa (>=18 tahun) mengalami overweight (BMI 25-27) dan 6,8% mengalami obesitas, 10,5%
penduduk wanita dewasa mengalami overweight dan 13,5% mengalami obesitas.
Pada kelompok umur 40-49 tahun overweight maupun obesitas mencapai puncaknya yaitu masing-masing 24,4% dan 23% pada laki-laki dan 30,4% dan 43% pada wanita (Depkes, 2003).
Sampai dengan saat ini belum ada data nasional tentang obesitas pada anak sekolah dan remaja. Akan tetapi beberapa survei yang dilakukan secara terpisah di beberapa kota besar menujukkan bahwa prevalensi obesitas pada anak sekolah dan remaja cukup tinggi. Pada anak SD prevalensi obesitas mencapai 9,7% di Yogyakarta (Ismail, 1999) dan 15,8% di Denpasar (Padmiari & Hadi, 2002).
Survei obesitas yang dilakukan akhir-akhir ini pada anak remaja siswa/siswi SLTP di Yogyakarta menunjukkan bahwa 7,8% remaja di perkotaan dan 2% remaja di daerah pedesaan mengalami obesitas (Hadi, 2004). Angka prevalensi obesitas diatas baik pada anak-anak maupun orang dewasa sudah merupakan warning bagi pemerintah dan masyarakat luas bahwa obesitas dan segala implikasinya sudah merupakan ancaman yang serius bagi masyarakat Indonesia
khususnya di kota-kota besar.

Konsekuensi Gizi Lebih
Obesitas meningkatkan risiko kematian untuk semua penyebab kematian. Orang yang mempunyai berat badan 40% lebih berat dari berat badan rata-rata populasi mempunyai risiko kematian 2 kali lebih besar dibandingkan orang dengan berat badan rata-rata (Lew & Garfinkel, 1979). Kenaikan mortalitas diantara penderita obes merupakan akibat dari beberapa penyakit yang mengancam kehidupan seperti diabetes tipe 2, penyakit jantung, penyakit kandung kemih, kanker gastrointestinal dan kanker yang sensitif terhadap perubahan hormon. Orang obes juga mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita beberapa masalah kesehatan seperti back pain, arthritis, infertilitas, dan fungsi psychososial yang menurun (WHO, 2000).
Pada anak-anak, obesitas dapat menyebabkan beberapa penyakit kronis meliputi gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin, diabetes tipe 2 pada remaja, hipertensi, dyslipideinia, steatosis hepatic, gangguan gastrointestinal, dan obstruksi pernafasan pada waktu tidur. Lebih khusus lagi, obesitas pada remaja di kawasan Asia-Pasifik berhubungan dengan diabetes tipe 2 pada umur yang lebih muda (Mahoney et al., 1996).

Banyak studi yang menunjukkan adanya kecenderungan anak obes untuk tetap obes pada masa dewasa (Guo et al, 1994), yang dapat berakibat pada kenaikan risiko penyakit dan gangguan yang berhubungan dengan obesitas pada masa kehidupan berikutnya. Gangguan psychososial juga sering menjadi masalah bagi anak-anak obes dengan diketahuinya obesitas oleh mereka sendiri dan orang lain sebagai handicap yang serius.

Mengapa Obesitas Bisa Meledak Di Hampir Seluruh Dunia? Ketidak-seimbangan energi

Secara singkat dapat dikatakan bahwa obesitas merupakan akibat dari adanya ketidak-seimbangan antara asupan energi (energy intake) yang melebihi energi yang digunakan (energy expenditure).
Dalam keadaan normal, keseimbangan energi berubah-ubah dari makanan satu ke makanan yang lain, dari hari ke hari, minggu ke minggu tanpa ada perubahan kekal dalam cadangan tubuh atau berat badan. Beberapa mekanisme fisiologis berperan penting dalam diri individu untuk menyeimbangkan keseluruhan asupan energi dengan keseluruhan energi yang digunakan dan untuk menjaga berat badan stabil dalam jangka waktu yang cukup panjang. Obesitas hanya akan muncul apabila terjadi keseimbangan energi positif untuk periode waktu yang cukup
panjang (WHO, 2000).
Mekanisme fisiologis yang bertanggungjawab terhadap terjadinya obesitas tidak diketahui secara sempurna. Akan tetapi, sekarang terdapat bukti yang makin jelas tentang adanya beberapa mekanisme yang memberi sinyal dalam usus halus, jaringan adiposa dan otak, dan mungkin jaringan lain yang dapat memberikan gambaran tentang arus asupan zat gizi, distribusi dan metabolismenya, dan atau penyimpanannya. Keseluruhan mekanisme ini dikordinasikan dalam otak dan mengarahkan, pada perubahari pola makan, aktifitas fisik, dan metabolisme tubuh
sedemikian rupa sehingga cadangan energi dalam tubuh dapat dijaga. Penemuan akhir-akhir ini tentang adanya hormon leptin, yang disekresi oleh adipocyte dalam jumlah yang proporsional terhadap cadangan triglisenda dan mengikat diri dengan reseptor di hipothalamus memberikan gambaran yang menanik tentang sistem sinyal pengaturan yang mungkin (possible regulatoiy signal systems) yang berfungsi untuk memelihara keseimbangan energi. Akan tetapi masih banyak yang perlu dipelajari lebih lanjut tentang sistem tersebut.
Pada masyarakat tradisional, dimana orang-orang cenderung melakukan aktivitas fisik dan dengan catatan bahwa kesediaan makanan tidak terbatas maka hanya sedikit orang yang mempunyai masalah gizi; baik kurang gizi ataupun kelebihan gizi. Diperkirakan bahwa tubuh manusia mempunyai pertahanan lebih kuat untuk melawan kurang gizi dan kehilangan berat badan dibandingkan pertahanan untuk melawan konsumsi yang berlebih dan kelebihan berat badan.

Pola Makan dan Aktivitas Fisik

Faktor-faktor diet dan pola aktivitas fisik mempunyai pengaruh yang kuat terhadap keseimbangan energi dan dapat dikatakan sebagai faktor-faktor utama yang dapat diubah (modifiable factors) yang melalui faktor-faktor tersebut banyak kekuatan luar yang memicu pertambahan berat badan itu bekerja. Lebih jelasnya, diet tinggi lemak dan tinggi kalori dan pola hidup kurang gerak (sedentary lifestyles) adalah dua karakteristik yang sangat berkaitan dengan peningkatan prevalensi obesitas di seluruh dunia (WHO, 2000).

Beberapa data cross-sectional menunjukkan adanya hubungan negatif antara BMI dan aktivitas fisik (Rising et al., 1994; Schulz & Schoeler, 1994), yang menunjukkan bahwa orang obes atau gemuk mempunyai aktivitas kurang dibandingkan orang-orang yang ramping. Akan tetapi hubungan tersebut tidak bisa menggambarkan adanya hubungan sebab-akibat dan sulit untuk menentukan apakah orang obes mempunyai aktivitas fisik kurang oleh karena obesitasnya atau
aktivitas fisik yang kurang menjadikan mereka obes. Namun demikian, beberapa hasil studi dengan rancangan penelitian lain menunjukkan bahwa rendahnya dan menurunnya aktivitas fisik merupakan faktor yang paling bertanggungjawab terjadinya obesitas. Sebagai contoh, obesitas tidak terjadi pada para atlit yang aktif sedangkan para atlit yang berhenti melakukan latihan olah raga lebih sering mengalami kenaikan berat badan dan kegemukan (Williamso, 1996; Rissanen et al, 1991).
Lebih lanjut, kecenderungan sekuler (Secular trend) dalam kenaikan prevalensi obesitas paralel dengan penurunan aktivitas fisik dan peningkatan perilaku hidup kurang gerak yang selanjutnya disebut SEDENTARIAN (sedentary). Salah satu contoh studi yang paling baik yang menyokong hipothesis ini ialah yang dikemukakan oleh Prentice & Jebb (Prentice & Jebb, 1995).
Menggunakan proksi kasar tentang ketidak-aktifan seperti jumlah waktu yang digunakan untuk menonton televisi atau jumlah mobil per-keluarga, penelitian ini menunjukkan bahwa penurunan aktivitas fisik dan atau peningkatan perilaku hidup sedentarian mempunyai peranan penting dalam peningkatan berat badan dan terjadinya obesitas. Studi prospektif lain menunjukkan bahwa jumlah waktu yang digunakan untuk menonton televeisi oleh anak-anak merupakan prediktor tinggi rendahnya BMI beberapa tahun kemudian (Dietz & Gortmarker, 1985), dan
tingkat aktivitas fisik yang rendah pada orang dewasa dapat dijadikan sebagai prediktor penting penambahan berat badan yang substansial (>5 kg) dalam 5 tahun kedepan
(Rissanen et al., 1991).

Dalam studi yang dilakukan pada tahun 2003 dengan melibatkan 4.747 siswa/siswi SLTP Kota Yogyakarta dan 4.602 siswa/siswi SLTP Kabupaten Bantul ditemukan bahwa 7,8% remaja di Kota Yogyakarta dan 2% remaja Kabupaten Bantul mengalami obesitas (cut off IMT>=95 percentile NCHS). Ratarata asupan energi anak obes di kota Yogyakarta adalah 2818,3 ± 499,4 kkal/hari sedangkan rata-rata asupan energi remaja non-obes di kota Yogyakarta adalah
2210,4 ±329,8 kkal/hari. Dengan kata lain bahwa asupan energi remaja obes adalah 607,9 kkal/hari lebih tinggi dibandingkan remaja non-obes. Yang menarik ialah bahwa remaja obes 2-3 kali lebih sering mengkonsumsi fast food seperti Mac Donald, Kentucky Fried Chicken, Pizza, dsb.
Remaja obes dalam kesehariannya mempunyai waktu untuk nonton TV lebih lama dibandingkan remaja non-obes (3,14 ±1,56 jam/hr VS 2,62 ± 1,67 jam/hari). Remaja obes dalam
kesehariannya mempunyai waktu untuk aktifitas ringan seperti baca buku, dudukduduk,
main play stasion, dsb lebih panjang (12,20 ± 1,94 jam/hr VS 11,36 ± 1,76 jam/hr) dibandingkan remaja non-obes. Sebaliknya remaja obes mempunyai waktu untuk melakukan aktivitas sedang atau berat seperti naik sepeda, sepak bola, basket dsb lebih pendek dibandingkan remaja non-obes. Dalam analisis lebih lanjut ditemukan bahwa remaja dengan asupan energi normal (<2.200 kkal/hari) tetapi nonton TV >=3 jam/hari mempunyai risiko obesitas 2,7 kali lebih tinggi
dibandingkan remaja yang asupan energi normal <2,200 kkal/hari dan waktu nonton TV <3 jam/hari. Remaja yang asupan energinya tinggi (>=2,200 kkal/hari) dan mempunyai waktu nonton TV >= 3 jam/hari mempunyai risiko menderita obes 12,3 kali lebih tinggi dibandingkan remaja yang asupan energi <2.200 kkal/hari dan waktu nonton TV <3 jam/hari (Hadi et al, 2004). Studi ini menunjukkan adanya interaksi yang bersifat additif, multiplikatif antara gaya hidup sedentarian dan diet tinggi kalori.


Perubahan Pola Penyakit Utama di Indonesia

Berdasarkan data mutakhir (BAPPENAS, 2004) yang diambil dari berbagai kota dan kabupaten yang mewakili daerah fiskal rendah, sedang dan tinggi ditemukan bahwa pola penyakit utama masih didominasi oleh penyakit-penyakit infeksi.
Yang menarik ialah bahwa penyakit ISPA masih menempati urutan pertama di semua daerah baik kabupaten maupun kota disusul oleh penyakit infeksi yang lain seperti malaria, dan penyakit kulit. Akan tetapi yang lebih menarik lagi ialah bahwa pada urutan berikutnya, yakni pada urutan 4 s/d 6 sudah banyak ditempati oleh penyakit non-infeksi khususnya penyakit hipertensi. Penyakit hipertensi ini naik peringkat dari urutan 8 s/d 10 pada tahun 1980-an menjadi urutan 4-6 pada tahun-tahun belakangan ini. Penyebab kematian utama di Rumah Sakit juga ditempati oleh penyakit-penyakit non-infeksi secara berturut-turut yaitu stroke, gagal ginjal, penyakit jantung lainnya, perdarahan intra-cranial, dan diabetes melitus, serta penyakit jantung iskhemik (Depkes, 2004).
Hal ini mungkin terjadiakibat adanya perubahan pola makan dan gaya hidup penduduk Indonesia
disamping perubahan struktur penduduk Indonesia yang ditandai dengan meningkatnya proporsi penduduk usia produktif dan lansia serta menurunnya proporsi penduduk balita.(BAPPENAS, 2004).
Hipertensi hanyalah salah satu penyakit non infeksi dari sekian banyak penyakit yang erat kaitannya dengan obesitas dan mudah terdeteksi dengan peralatan medis sederhana yang tersedia di puskesmas. Penyakit-penyakit non infeksi lain yang lebih serius dan sangat erat hubungannya dengan obesitas seperti penyakitpenyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus dab, tidak bisa terungkap dengan menggunakan data dan puskesmas oleh karena penderita penyakit-penyakit
tersebut lebih sering langsung berobat ke spesialis atau ke rumah sakit.
Secara keseluruhan, data epidemiologis saat ini menunjukkan bahwa prevalensi diabetes mellitus di Indonesia berkisar 1,5 s/d 2,3%. Akan tetapi, penelitian terakhir yang dilakukan di kota besar seperti Jakarta menunjukkan bahwa prevalensi diabetes mellitus mencapai 12,8% dan populasi penduduk dewasa (Suyono, 2004).
Dengan sifat penyakit diabetes mellitus yang tidak dapat disembuhkan secara sempurna dan hanya bisa dikontrol, maka dengan kenaikan insidensi diabetes mellitus yang terjadi akibat perubahan pola makan dan gaya hidup diperkirakan prevalensi diabetes mellitus di Indonesia pada tahun 20l0 naik lebih dari l00%.

Nilai Ekonomis dari Overweight dan Obesitas

Nilai ekonomi dari obesitas terdiri dari 3 komponen yaitu;
Pertama, Direct cost (biaya langsung), yakni biaya bagi individu dan petugas yang berkaitan dengan upaya penyembuhan obesitas itu sendiri,
Kedua, opportunity cost (biaya kesempatan), yakni biaya yang menyangkut individu akibat kehilangan kesempatan sosial dan personal sebagai akibat dari obesitas seperti adanya kematian dini, dan penyakit-penyakit yang muncul akibat obesitas;
Ketiga, indirect cost (biaya tidak langsung) yaitu biaya yang diukur dengan adanya kehilangan penghasilan oleh karena tidak dapat melakukan pekerjaan sehari-hari sebagaimàna mestinya orang yang tidak mengalami obesitas.
Sampal dengan saat ini di Indonesia dan negara-negara berkembang yang lain belum tersedia data tentang besarnya nilai ekonomi dari obesitas, baik biaya langsung maupun biaya tidak langsung. Akan tetapi beberapa studi di negara maju menunjukkan bahwa biaya langsung dan obesitas per-tahun mencapai :
- 464 juta Aus$ di Australia (NHMRC, 1990),
- 12 Milyar FF di Perancis (Levy et al., 1992),
- 1 Milyar NLG di Belanda (Seidel, 1989), dan
- 45,8 Milyar US $ di Amerika Serikat (Wolf & Colditz,1994).
Besar biaya obesitas tersebut merupakan 4-7% dan total biaya kesehatan nasional negara masing-masing. Yang menarik ialah bahwa 53% sampai dengan 60% (Levy et al., 1992; NHMRC, 1990) dari biaya langsung ini diatributkan pada penyakit hipertensi dan penyakit jantung koroner.
Data tentang biaya tidak langsung dan obesitas masih sangat terbatas, akan tetapi suatu studi di Amerika yang dilakukan akhir-akhir ini menyebutkan bahwa biaya tidak langsung dari obesitas mencapai 23,3 milyar US$ per-tahun, yang terdiri dan 4 milyar US $ biaya kehilangan produktivitas atau 25.59 1.480,- hari kerja, dan 19,3 milyar US$ biaya yang muncul akibat kematian dini dengan penyebab kematian utama penyakit-penyakit yang berkaitan dengan obesitas.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan dari berbagai studi bahwa obesitas merupakan salah satu komponen terbesar dan budget nasional di bidang kesehatan. Meskipun belum banyak studi tentang besar biaya yang muncul akibat obesitas di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, beban biaya ekonomi yang terus meningkat dan adanya penyakit-penyakit kronis pada orang dewasa di negara-negara tersebut telah diketahui oleh beberapa lembaga internasional seperti WHO, dan World Bank. Biaya nyata dan therapi obesitas di negara-negara berkembang lebih besar dibandingkan di negara-negara maju oleh karena adanya beban tambahan akibat impor peralatan-peratatan dan obat-obatan dan untuk keperluan pelatihan tenaga kesehatan (WHO, 2000).

Implikasi Kebijakan

Dan uraian diatas jelas bahwa beban pembangunan bidang kesehatan nasional akan semakin berat dengan adanya masalah gizi ganda karena baik gizi kurang maupun gizi lebih sangat erat kaitannya dengan aspek kesehatan yang lain. Masih besarnya beban masalah kesehatan yang bersumber dari defisiensi gizi dan penyakit infeksi disatu sisi dan makin meningkatnya masalah kesehatan yang bersumben dari masalah gizi lebih dan penyakit-penyakit degeneratif disisi lain
perlu diantisipasi dengan melakukan perubahan kebijakan yang mendasar dalam upaya pelayanan kesehatan, baik upaya pelayanan kesehatan perorangan maupun upaya pelayanan kesehatan masyarakat.
Dengan terbatasnya sumberdaya yang ada dan semakin terbatasnya kemampuan pemerintah menyediakan anggaran disaat beban pembangunan kesehatan meningkat maka kebijakan yang berimbang dan simultan antara upaya-upaya kesehatan promotif dan preventif disatu sisi dan upaya-upaya kesehatan kuratif/rehabilitatif disisi lain dengan meningkatkan partisipasi masyarakat secara luas merupakan hal yang tidak hanya crusial, tetapi juga merupakan satu-satunya pendekatan yang sensibel untuk perencanaan kebijakan kesehatan masyarakat di
Indonesia.
Strategi yang ditujukan untuk pencegahan obesitas dan implikasinya juga merupakan strategi yang lebih mudah, lebih murah dan lebih efektif dibandingkan strategi pengobatan obesitas oleh karena beberapa alasan;
1) obesitas terus meningkat dan waktu ke waktu, dan sekali obesitas terjadi maka sulit untuk mengobati (Kayman et al, 1990);
2) Konsekuensi dari obesitas merupakan stress fisik dan metabolik yang bersifat kumulatif dan kelebihan berat badan yang terjadi dalam periode waktu yang cukup lama, dan mungkin tidak dapat pulih kembali dengan sempurna dengan mengurangi berat badan saja (Pi-Sunyer, 1993); 3)

Jika di negara maju saja sumberdaya pelayanan kesehatan tidak lagi mencukupi kebutuhan pengobatan untuk semua kejadian obesitas dan penyakit terkait oleh karena adanya peningkatan obesitas yang sangat dramatis, maka tanpa adanya program pencegahan yang efektif, sumberdaya yang ada di negara-negara berkembang termasuk Indonesia akan segera terkuras habis (exhausted) untuk pengobatan obesitas dan penyakit-penyakit degeneratif lain yang relatif lebih mahal dan membutuhkan teknologi canggih (WHO, 2000).

Adalah suatu ironi bahwa kenyataan di lapangan pada saat ini, perhatian terhadap upaya-upaya kesehatan promotif dan preventif sangat kecil dibandingkan perhatian yang diberikan pada upaya-upaya kuratif-rehabilitatif. Relatif kecilnya perhatian pemerintah terhadap upaya-upaya kesehatan promotif-preventif dapatdilihat dan relatif kecilnya anggaran yang dialokasikan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa anggaran yang dialokasikan untuk upaya-upaya promotif -
preventif tidak mencapai 10% dari total anggaran kesehatan. Sebaliknya, anggaran biaya yang dialokasikan untuk upaya-upaya kesehatan kuratif mencapal 60 hingga 85% dan total anggaran bidang kesehatan.
Tingginya kejadian luar biasa baik untuk penyakit menular seperti demam berdarah, malaria dsb maupun gizi buruk akhir-akhir ini merupakan dampak dari “Kebijakan pembangunan kesehatan yang ketinggalan dan bersifat responsif “(delayed and responsive health policy)” istilah saya, suatu kebijakan kesehatan yang lebih bersifat responsif dan kagetan ketimbang kebijakan kesehatan yang antisipatif terhadap masalah-masalah kesehatan yang dirumuskan dengan cara
yang lebih sistematis berdasarkan fakta di lapangan (evidence based), kebijakan kesehatan yang lebih bersifat simptomatif dan populis ketimbang kebijakan yang bersifat kausatif.



Peran Pemerintah dan Wakil Rakyat (DPRD/DPR)

Dengan adanya undang-undang tentang otonomi daerah maka peran Kabupaten/kota menjadi sangat menentukan keberhasilan pembangunan termasuk pembangunan bidang kesehatan. Namun demikian, secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa komitmen pemerintah daerah terhadap pembangunan bidang kesehatan masih kurang memadai. Perhatian utama dan sebagian besar pemerintah daerah lebih ditujukan pada upaya pembangunan infrastruktur, sarana-prasarana dan pengembangan wilayah (INPRASWIL).
Pembangunan yang yang bersifat non-fisik dan tidak dapat dilihat hasilnya dalam waktu dekat seperti pembangunan kesehatan umumnya kurang mendapat perhatian. Disamping itu, sering alokasi anggaran kesehatan tidak memihak kepada kepentingan rakyat banyak, tetapi
untuk keperluan sekelompok penduduk perkotaan atau mungkin hanya menguntungkan penentu kebijakan saja. Tidak jarang pemerintah daerah dan DPRD, di daerah miskin sekalipun lebih mengutamakan pendirian rumah sakit baru dengan peralatan canggih dan mahal dari pada memperbanyak, memperbaiki, melengkapi peralatan dan meningkatkan kapasitas Sumber Daya Manusia Puskesmas yang sudah ada, dengan impian bahwa Rumah Sakit tersebut dapat dijadikan sapi perah dan sebagai salah satu sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bahkan ada daerah yang enggan mengalokasikan anggaran biaya untuk pembelian vaksin dan kapsul vitamin A dengan cukup untuk bayi dan balita, karena lebih mementingkan anggaran untuk peralatan canggih (BAPPENAS 2004). Ini sama halnya mereka berharap agar masyarakatnya yang masih miskin lebih sering menderita penyakit sehingga memberikan pemasukan pendapatan daerah dengan kemiskinan dan penderitaannya. Mereka tidak berpikir sebaliknya memberikan investasi yang cukup untuk membangun masyarakat yang sehat
(bergizi tentunya), cerdas, dan produktif sehingga dapat memberikan PAD yang lebih besar serta membangun daerahnya dengan kecerdasan dan ketangkasannya dan bukan dengan derita dan nestapa.

Advokasi terhadap pemerintah dan para wakil rakyat daerah lalu menjadi sangat dibutuhkan. Ironisnya, advokasi dan Dinas Kesehatan kepada para wakil rakyat dan pemerintah daerah pada umumnya masih sangat minim dan kurang efektif.

Ada beberapa alasan mengapa advokasi yang dilakukan kurang efektif;
1) advokasi yang dilakukan oleh jajaran Dinkes sering dipersepsikan oleh wakil
rakyat daerah tidak lebih sebagai upaya pembelaan terhadap kepentingan jajaran
Dinkes;
2) metode advokasi tidak menarik, membosankan, dan berkesan “menggurui” terhadap pihak yang berkuasa 3) para wakil rakyat merasa bahwa anggota DPRD levelnya lebih tinggi dibandingkan jajaran Dinkes. Oleh karena itu, advokasi terhadap para wakil rakyat dan pemerintah daerah perlu dirancang dan dilaksanakan dengan metode yang lebih menarik, bersifat promotif dan motivatif, serta didukung data dan bukti nyata yang didapat dari penelitian
setempat. Agar upaya advokasi lebih efektif tidak cukup dilaksanakan oleh proyek penyuluhan kedinasan, tetapi perlu melibatkan pihak ketiga seperti perguruan. tinggi, LSM., dan perlu melibatkan para ahli periklanan swasta serta para pengusaha media masa. Dengan demikian, advokasi yang benar dan efektif memerlukan pembiayaan yang tidak kecil. Ironisnya dalam kenyataan anggaran untuk kegiatan ini biasanya disediakan sekedarya karena dianggap bukan
prioritas.

Jika di daerah sering dijumpai kebijakan yang kurang berpihak pada rakyat, di pusat juga dapat ditemukan kebijakan yang mempunyai filosofi yang baik “menolong bayi dan keluarga miskin agar tidak kekurangan gizi dengan memberikan Makanan Pendamping (MP) ASI tetapi pada kenyataannya masih belum memenuhi harapan rakyat, dan justru banyak dilaporkan membebani
petugas kesehatan daerah. Selama empat tahun (2000-2003) pasca krisis ekonomi, 60%-75% dari anggaran program gizi dialokasikan untuk pengadaan makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang jumlahnya berkisar antara Rp.100 milyar sampai Rp.120 milyar setiap tahunnya. (Depkes, 2004). Dalam kenyataannya sampai saat ini, kebijakan tersebut belum efektif karena pelaksanaan pemberian MP-ASI secara gratis tidak tepat sasaran, ditolak (tidak disukai) oleh masyarakat, dan
akhirnya tidak sedikit yang menumpuk di gudang dan tempat penyimpanan lainnya. Dalam suatu studi evaluasi program MP-ASI blended food yang dilakukan akhir-akhir ini ditemukan bahwa hanya kurang lebih 52% dari program tersebut yang tepat sasaran artinya diterima oleh anak umur 6-11 bulan dan keluarga miskin. Yang lebih memprihatinkan ialah bahwa hanya 23,8% dari yang tepat sasaran itu benar-benar dikonsumsi oleh bayi dan keluarga miskin karena
tidak disukai. Dengan kata lain nilai efektif dan program MP-ASI tersebut hanya kurang lebih 12,4% (Sofia et al., 2004). Oleh karena itu tidak heran apabila program yang memakan anggaran biaya mahal tersebut gagal memperbaiki status gizi bayi-bayi yang datang dan keluarga kurang mampu (Bulan 2004). Tidakefektifnya kebijakan pemerintah yang mulia ini tampaknya berkaitan dengan adanya MP-ASI yang belum sesuai dengan lidah dan budaya kebanyakan bayi sasaran program, masih kurangnya sosialisasi program kepada masyarakat, dan lemahnya monitoring serta evaluasi program tersebut.

Dari berbagai studi di banyak negara disebutkan bahwa program bantuan pangan seperti MP-ASI untuk ibu dan balita umumnya tidak efektif oleh karena banyak sebab, kecuali dalam keadaan darurat seperti bencana di Aceh baru-baru ini, perang, gejolak politik, banjir dan sebagainya.

Diantara beberapa penyebab (13 faktor penyebab) kegagalan program bantuan pangan untuk ibu dan anak balita dalam keadaan tidak darurat di negara berkembang adalah karena harga yang
relatif mahal (high cost), kesulitan logistik seperti penyediaan dan distribusi yang tidak teratur dan tidak pasti, karena kemasan program tidak sesuai dengan budaya dan kebiasaan makan setempat sehingga makanan tidak disukai dan ditolak, dan yang lebih penting lagi kebocoran karena dikorupsi (Gillespie, 1999).
Program MP-ASI untuk balita dalam keadaan normal (bukan darurat) tetap diperlukan dan
penting diadakan tetapi mungkin akan lebih efektif apabila dilakukan melalui mekanisme pasar (tidak melalui proyek pemerintah) dengan pengaturan pemberian subsidi harga bagi balita dan keluarga miskin.
Dalam kondisi negara masih serba sulit seperti sekarang ini, termasuk keterbatasan anggaran, alokasi anggaran untuk program pembangunan termasuk untuk program kesehatan dan gizi, khususnya proyek bantuan pangan seperti bantuan MP-ASI harus didasarkan atas perencanaan yang matang dengan perhitungan efektivitas pembiayaan (cost-effectiveness) sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan, dan didukung dengan kemampuan manajemen program yang
memadai.



Peran Perguruan Tinggi

Sebagaimana disebutkan di atas, masalah gizi dan kesehatan dimasa yang akan datang di Indonesia akan semakin komplek, satu sama lain saling terkait dan oleh karena itu penanganannyapun membutuhkan tenaga yang mempunyai kompetensi lebih tinggi. Pada saat ini tenaga gizi yang bekerja di jajaran Dinas Kesehatan maupun di Rumah Sakit di seluruh Indonesia sebagian besar lulusan D3 dan Dl.
Kompetensi minimal yang dimiliki oleh sebagian besar tenaga gizi Indonesia belum memenuhi tantangan masalah gizi dan kesehatan saat ini dan apalagi untuk menangani masalah gizi dan kesehatan 10-20 tahun mendatang. Oleh karena itu perguruan tinggi perlu mengambil peranan dalam mendefinisikan ulang kompetensi ahli gizi Indonesia dan memformulasikannya dalam bentuk kurikulum pendidikan tinggi yang dapat memenuhi tuntutan zaman.
Peran perguruan tinggi juga sangat penting dalam memberikan kritik maupun saran bagi pemerintah agar supaya pembangunan kesehatan tidak menyimpang dan tuntutan masalah yang riil berada di tengah-tengah masyarakat. Ini merupakan wujud keprihatinan saya sebagai
insan akademis terhadap upaya pembangunan kesehatan Indonesia selama ini yang masih kurang efektif, pembangunan yang belum bisa merubah citra bangsa Indonesia sebagai bangsa yang “Sakit-sakitan, bodoh, dan miskin lagi” menjadi bangsa yang “Sehat, cerdas dan produktif, serta bermartabat” di tengah-tengah bangsa lain di dunia.

Kesimpulan

Dan uraian di atas jelas sekali bahwa masalah gizi dan kesehatan dimasa datang akan semakin komplek dan itu semua akan menjadi tantangan utama pembangunan bidang kesehatan. Kompleksitas masalah gizi dan kesehatan tersebut menuntut perhatian semua pihak khususnya Departemen Kesehatan RI dalam mengantisipasi masalah kesehatan dimasa yang akan datang serta dalam mengambil keputusan kebijakan pembangunan kesehatan. Namun demikian, peran wakil rakyat, pemerintah daerah, masyarakat, perguruan tinggi, dan stake holder lain juga sangat menentukan keberhasilan dalam menangani masalah gizi dan pembangunan kesehatan di Indonesia.

3. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN
8 kiat kindari kegemukan
Delapan KIAT Hindari Kegemukan !
Masalah kegemukan selalu dikaitkan pada keturunan. Padahal, kegemukan lebih sering diakibatkan oleh kebiasaan makan yang kurang sehat dan kurang berolahraga. Delapan kiat sederhana berikut mudah-mudahan berguna untuk mengatasinya.
Menurut F.G. Winarno, ilmuwan senior dari IPB, menjaga berat badan yang sehat seharusnya sudah dimulai sejak bayi lahir. Bayi harus dijaga agar tidak terlalu gemuk.
Bayi dan anak-anak yang pertumbuhannya lebih dipercayakan kepada pembantu biasanya mengalami pertumbuhan terlalu cepat, salah satu di antaranya adalah terlalu gemuk. Tragisnya, banyak ibu yang justru merasa bahagia melihat anaknya endut sekali. Padahal, anak-anak yang terlalu gemuk akan memiliki sel lemak yang berlipat ganda sejak bayi. Jumlah sel lemak tersebut akan dipertahankan sampai tua. Bila kelak dewasa dan makan terlalu banyak, sel-sel tersebut mudah mengembang. Badan mudah menjadi gemuk dan kelak dapat berkembang menjadi obesitas.
Problem Nasional
Di Amerika Serikat (AS), penanggulangan dan pengobatan terhadap gejala obesitas ternyata sangat sulit dilakukan.
Kadar kegagalannya sekitar 90-95 persen. Padahal, hasil penelitian yang dilakukan National Obesity Forum menunjukkan bahwa berdasarkan penelitian psikologi, anak-anak yang kegemukan memiliki kecenderungan angka lebih rendah terhadap kebahagiaan, kepuasan, dan kepercayaan diri dibandingkan dengan anak yang sehat dan langsing.
Tak seperti di Indonesia yang belum menjadi masalah nasional, para aktivis kesehatan di AS mengampanyekan agar segera dilakukan tindakan nyata untuk mengatasi peningkatan kasus obesitas atau kegemukan. Apalagi setelah muncul laporan bahwa kondisi kegemukan di dunia telah mencapai tingkat yang membahayakan.
Dalam data National Obesity Forum disebutkan bahwa kegemukan saat ini menyumbangkan hingga 30.000 kematian per tahun, demikian pemberitaan situs internet Gloria Cyber Ministries. Ian Campbell, ketua National Obesity Forum, mengatakan, "Kegemukan adalah salah satu masalah besar dan banyak dokter yang enggan untuk menyisihkan waktu dan energi mereka untuk mengendalikan angka kegemukan ini."
Kata Campbell, ada banyak alasan untuk masalah ini. Misalnya, banyak dokter yang belum menerima atau mengerti bahwa kegemukan termasuk juga salah satu penyakit serius.
Kasus kegemukan juga menjadi masalah besar terutama pada anak-anak di negara yang ekonominya sudah maju atau berkembang. Di Singapura misalnya, 13 persen anak-anak usia sekolah (6-12 tahun) mengalami kegemukan atau obesitas. Keadaan yang sama terjadi di Malaysia, Hong Kong, dan juga dialami masyarakat Indonesia di daerah perkotaan yang makmur.
Jika langkah-langkah nyata untuk mengatasi kegemukan itu tak dilakukan, diperkirakan satu dari lima pria dan sekitar seperempat dari seluruh wanita yang ada dapat mengalami kegemukan dalam tiga tahun mendatang. Prof. Philip James, Ketua The International Obesity TaskForce, mengatakan hal paling penting adalah mengatasi kegemukan di usia anak-anak dengan segera.


Memicu Osteoporosis
David Ludwig dari rumah sakit anak-anak di Boston, seperti dikutip Reuters, menemukan bahwa 57 persen anak-anak mengonsumsi minuman ringan di hampir setiap hidangan. Dampaknya, mereka menjadi kekurangan kalsium.
Suatu penelitian yang diterbitkan pada Februari 2001 misalnya, menemukan anak-anak perempuan yang meminum banyak soda akan kekurangan kalsium. Dampaknya, mereka akan mengalami osteoporosis di masa tua.
Untuk menghindarkan diri dari kecenderungan menjadi gemuk perlu diingat bahwa lemak di piring kita sebagian besar akan disimpan menjadi lemak di dalam tubuh. Dengan demikian, tubuh dapat menjadi cepat gemuk.
Berikut beberapa kiat yang dapat dilakukan untuk menghindari kegemukan :
• Jangan yang digoreng. Masaklah mi dalam air, jangan digoreng. Begitu juga dengan nasi. Sajikan nasi yang ditanak/dikukus, jangan yang digoreng. Memilih daging juga lebih baik yang dipanggang.
• Kunyah perlahan. Kunyahlah makanan secara perlahan-lahan dan cobalah menikmati makanan sewaktu berada dalam mulut. Dengan demikian akan menyebabkan lambung cepat kenyang dan membantu mencegah makan terlalu banyak. Nasihat lama yang masih boleh diikuti, kunyahlah makanan setidaknya 32 kali sebelum menelannya.
• Ambil sedikit. Ambillah makanan pertama sedikit mungkin ke dalam piring Anda. Tambah sedikit demi sedikit bila masih lapar. Cara ini dilakukan agar Anda tidak merasa terpaksa harus menghabiskan makanan yang sudah berada di piring.
• Tinggalkan meja setelah selesai. Diimbau untuk segera meninggalkan meja makan setelah selesai dan jangan dilanjutkan dengan mengobrol. Ini dilakukan untuk menghindarkan diri dari iseng atau keinginan ngemil dan mengambil makanan dari sana-sini sehingga tak terasa perut menjadi terlalu kenyang. Hindari kadar gula dan lemak tinggi.
• Hindari makanan berkadar gula dan lemak tinggi seperti cake cokelat, kue-kue (pastries), lemak hewan, mentega, fullcream milk, jeroan, dan lain-lain.
• Konsumsi banyak buah. Mengonsumsi banyak buah-buahan, sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan, dan karbohidrat dapat menjaga jumlah kalori yang masuk agar sesuai dengan kebutuhan.
• Waspadai minuman bersoda. Anak-anak yang mengonsumsi minuman ringan bergula berisiko tinggi mengalami kegemukan. Laporan para peneliti Amerika yang diterbitkan oleh The British Medical Journal The Lancet, remaja AS perlu segera mengurangi minuman bersoda dan junk food yang berisiko mengganggu kesehatan. "Kami menemukan selalu ada minuman ringan di setiap hidangan tambahan, dan risiko kegemukan meningkat kira-kira 50 persen," kata Ludwig.
• Kurangi menonton televisi. "Kegemukan pada anak-anak diakibatkan oleh banyak faktor. Tidak ditekankan hanya pada satu faktor, yaitu minuman ringan dan masalah gizi, melainkan juga kebiasaan seperti menonton televisi," ungkap Ludwig. Membanjirnya acara di televisi, termasuk film-film kartun dan telenovela, membuat anak-anak dan ibu rumah tangga semakin lama duduk di depan televisi sambil ngemil. Keadaan demikian mendorong tubuh kurang gerak dan mudah menjadi gemuk.
Dari 4.771 wanita yang diteliti di Singapura, mereka yang menonton televisi tiga sampai empat jam sehari berpeluang dua kali lipat menjadi gemuk dibanding kelompok yang jarang menonton televisi.












4. DAFTAR PUSTAKA

A.Kusumawardhani.2006. Food Addiction in Obesity. Majalah kedokteran Indonesia.Volume:56, hal.205-208
Bish, conie L, et all. 2007. Health-Related Quality of Life and Weight Loss Practices Among Overweight and Obese US adults, 2003 Behavioral Risk Factor Surveilllance System. MedGenMed. 9(2):35. Di unduh dari http://www.pubmedcentral.nih.gov/ articlerender.fcgi?tool=pubmed & pubmedid=17955090.13 November 2007
Ma’ruf, Anwar.2005.Studi Sekresi Leptin Sebagai Dasar Diet Penurunan Berat Badan Secara Fisiologis.Diunduh dari http//adln.lib.unair.ac.id/. 29 november 2007
Mu’tadin, Zainun.2002. Obesitas dan Faktor Penyebabnya. Diunduh dari: http//www.e-psikologi.com/remaja/index.htmn.29 November 2007
Pudjiadi, Solihin.2002.Obesitas Pada Anak. Cermin Dunia Kedokteran No 27.
Waspadji, Sarwono, et all.2003. Pengkajian Status Gizi. Cetakan Pertma. Balai Balai Penerbit: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Wing, Rena.R, et all. 2006. A Self-Regulation Program for Maintenance of Weight Loss. NEJM. Volume:355, hal 1563-1571.
Yanovski, susan Z.,dan Yanovski, Jack A. 2002. Obesity. NEJM. Volume: 346, hal.591-602.
Amos, A, McCarty D, Zimmet P, 1997 The rising global burden of diabetes and its complications: Estimates and projections to the year 2010. Diabetic Med; 14(Supple 5): S1-S85.

BAPPENAS 2004 Relevansi Paket Pelayanan Kesehatan Dasar Dalam Pencapaian Target Nasional dan Komitment Global. Jakarta.

BAPPENAS 2004 Indonesia Progress Report on the Millenium Development Goals. Jakarta.

Bulan, T. 2005 Efek Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Blended Food terhadap status gizi bayi 6-11 bulan di Kota Medan. Thesis Magister Gizi Kesehatan, Universitas Gadjah Mada.

Chi I, Agoestina T, Harbin J. 1981 Maternal mortality at twelve teaching hospitals in Indonesian. An epidemiologic analysis. Int J Gynaecol Obstet; 19:259-66.

Departemen Kesehatan RI. 2004 Kecenderungan Masalah Gizi dan Tantangan di Masa Datang. Jakarta.

Depkes RI. 2002 Profil Kesehatan Indonesia 2001. Jakarta.

Depkes RI. 2004 Profil Kesehatan Indonesia 2001. Jakarta.

Dietz WH and Gortmarker SL1985 Do we fatten our children at the television set? Obesity and television viewing in children and adolescents. Pediatrics, 75: 807-812.

Garrow JS. 1988 Obesity and Related Diseases. London, Churchill Livingstone, 1-16.
Gillespie S. 1998 Major Issues in the control of Iron Deficiency. The Micronutrient Iniciative. Unicef, Ottawa, Canada

Gillespie S. 1999 Common Causes of Failures in Scaling Up Supplementary Feeding Programs. In Supplementary Feeding for Women and Young Children. Nutrition Toolkit Module No.5. The World Bank, Washington DC.

Gracey, M. 1995 New world syndrome in Western Australian Aborigines. Clin and Experiment Pharmacol and Physiol, 22: 220-225.

Guo SS, Roche AF, Chumlea WC, Gardner JD, Siervogel RM. 1994; The predictive value of childhood body mass index values for overweight at age 35y. Am J Clin Nutr 59: 8 10-19.

Hadi, H. 2002. Meningkatkan Status Kesehatan dan Gizi Keluarga Melalui Kemitraan Pria dan Wanita dalam Rumah Tangga. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Meningkatkan kualitas bangsa melalui kesetaraan perempuan” di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. 15 Juni 2002.

Hadi, H. Hurryati E, Basuki A, Madawati A dan Mahdiah. 2004. Obesitas pada remaja sebagai ancaman kesehatan serius dekade mendatang. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Obesitas pada Remaja” Yogyakarta.


any comments? critics? suggestions or additions?

No comments: